Monday, December 23, 2013

RapunZee (Chapter 2) - Unexpected



Last Chapter

              “Udah ga marah nih, pak Manager?” goda Jace saat Danny sibuk makan rawon.
                Danny melengos. Laki-laki bertubuh pendek itu membetulkan letak kacamata bulatnya dan menatap Jace.
                “Maybe I’m not mad anymore, but I’m gonna find you a new tourguide.”

Chapter 2

                Jace terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Danny. “For what?” balasnya.
                “Jace, kamu baru nyasar....”
                “And?” tanya Jace bego.
                “And I’m gonna find you a new tourguide?” Danny memutar bola matanya malas.
                “But-“
                “No buts, Jace.” potong Danny. “Paling lama besok lusa, tapi aku usahain, besok tourguide-nya udah dateng.”
                “Besokkkk? Are you kidding meeeeeeeee..” Jace mengacak-acak rambut hitamnya yang sudah lumayan panjang. Hilang sudah kesempatan Jace untuk jalan-jalan dan refreshing sendiri. Besok atau besok lusa atau kapanpun itu, bakal ada seseorang yang ngintilin Jace kemanapun dia berada.
                “Halah, ga mungkin Danny nemu tourguide secepet itu. Dia kan lelet.” dumel Jace.
                “I hear that!”                                                                       
                Jace melengos, kemudian melanjutkan memakan nasi gorengnya yang sempat terlantar. Jace memasukan sesuap lagi kedalam mulutnya, ingin cepat-cepat selesai makan malam dan tidur. Melupakan semuanya untuk sementara.

______________________________________________________________________________

                “Hmm.. Aku usahain bisa dong..... Harus hari ini kah?....Yahh...  Kalau nanti malem gapapa?..... Iya soalnya..”  Rena menghentikan pembicaraan genit itu melalui telepon lalu melotot kearah Zivanna. “Soalnya anakku ada acara.”
                Rena terdiam sebentar, sepertinya menunggu orang yang  di telepon untuk selesai berbicara. “Oke, boleh. Ntar aku dateng ke hotelmu buat tanda tangan kontraknya.”  Telepon lalu dimatikan.
                “Kontrak apaan? Aku bakal jadi artis? Ato apa?” tanya Zivanna bertubi-tubi. Berbagai kemungkinan muncul di otak Zivanna. Soal dia jadi artis.... pemain sinetron.... personil band mungkin? Zivanna pun mesam-mesem sendiri. Kalo udah ngomongin soal kontrak, berarti kan ada hubungannya dengan artis?
                “Nanti kamu bakal tau sendiri.” ujar Rena yang membuat semua kemungkinan yang muncul di otak Zivanna runtuh seketika. “Sekarang, kamu ikut aku ke salon.”
                “Hah?! Buat apaaa?”
_____________________________________________________________________________

                “Tolong dia di make up, tapi make upnya natural aja. Jangan kelihatan berlebihan. Kalau udah selesai, tolong dipakein baju ini.” Rena menyerahkan sebuah dress simple berwarna pink pastel dengan sabuk pada bagian pinggang. “Ohya, ini flat shoesnya, aku tau kamu ga mungkin bisa pake high heels, jadi-“
                “Tante!” potongku dengan keras, menyebabkan Mas- mas, atau bisa dibilang setengah Mas setengah Mbak yang berada di belakangku melonjak ke belakang sangking kagetnya. “Yaampun cyn!” serunya.
                Rena melihatku dengan tajam. “Tolong tinggalkan kami berdua sebentar.” Sang Mbak-Mas yang ada di belakangku langsung meninggalkan kami berdua dengan setengah berlari. Mata Rena tidak pernah sedetikpun meninggalkan mataku. Rena lalu duduk pada kursi di sampingku.
                “Selama ini aku udah besarin kamu dengan susah payah. Sekolahin kamu tinggi-tinggi. Tapi saat kamu udah besar, apa yang kamu lakuin? Kamu malah kerja sukarela di sekolah musik itu!” Rena berhenti sejenak, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan geram.
                “Aku udah minta kamu untuk kerja di perusahaanku, tapi apa? Kamu selalu menghindar dengan cara apapun. Sekarang, ada pekerjaan buat kamu. Aku ga akan biarin kamu menyia-nyiakan kesempatan kali ini, Zee.” oceh Rena panjang lebar.
                “Trus ada apa dengan dandananku? Ngapain juga kerja harus ke salon, pake dress segala lagi!”
                “Aku ga bakal biarin kamu kesana pake kaos sama celana jeans. Ini hari pertama kamu kerja, harus pasang image bagus.”
                “Apa salahnya pake kaos sama jeans? Daripada pake dress, kakiku bisa beku tau ga. Ini kan Batuuu..”
                Rena rupanya menghiraukan protes Zivanna dan memanggil Mbak-Mas yang tadi. Zivanna pun sangat kesal. Muncul ide di otaknya yang mengatakan untuk kabur sekarang. Namun ide tersebut tidak jadi terlaksana ketika Mas-Mbak tadi datang kearahnya bersama 2 temannya. Bagaimana cara Zivanna kabur kalau dikerubungin 3 banci?
                Zivanna pun pasrah, gadis itu menutup matanya dan bersiap mukanya diobrak-abrik.
_______________________________________________________________________________

                “Bangun, cyin, bangunn..” Zivanna pun tersentak dari tidurnya. Gadis itu berteriak seketika menemukan wajah Mas-Mbak yang men-make up mukanya tadi hanya berada 10 cm di depan mukanya.
                “Aduh sayy! Gausa teriak-teriak dong, telinga akika atit nihh..”
                “Sekarang masuk ruang ganti, baju sama sepatumu udah ada di sana.” Rena yang berada di sebelah Zivanna tiba-tiba bersuara.
                Zivanna pun merengut kesal. Gadis itu memasuki ruang ganti dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakan. Zivanna lalu menatap pandangannya di kaca.  Mukanya sudah terpoles make up dengan sempurna, ujung rambutnya pun dibuat bergelombang. Tapi Zivanna tidak peduli, gadis itu dengan cepat memakai dress dan menjejalkan kaki sekenanya kedalam flat shoes.
                Zivanna sempat terperangah sebentar di depan kaca. Sudah bertahun-tahun dirinya tidak pernah memakai dress.
                “Zee! Cepat!”
                Suara Rena mengagetkan Zivanna. Tergopoh-gopoh Zivanna memasukan kaos dan jeans yang tadi dipakainya kedalam tas. Gadis itu lalu berlari keluar dan menemukan Rena sedang membayar di kasir. Zivanna hanya bisa membuntuti Rena di belakang dan mengikuti Rena hingga masuk kedalam mobil.
                Perjalanan pun terasa sangat sunyi. Tak ada satu patah pun yang keluar dari mulut Zivanna maupun Rena. Namun berbagai macam pertanyaan muncul di dalam otak Zivanna. Gadis itu sudah tidak kuat menahannya dan memutuskan unuk bertanya.
                “Pekerjaan apa sih, tan?”
                Rena terdiam sejenak. “Apapun pekerjaannya, kamu ga boleh menolak. Dan satu hal yang perlu kamu ingat, jangan panggil aku tante, panggil aku mama. Orang itu taunya aku dan kamu sudah saling menganggap sesama sebagai ibu dan anak.”
                Belum sempat Zivanna mengajukan pertanyaan lagi. Mobil mendadak berhenti dan Rena pun keluar dari mobil. Zivanna hanya bisa menyusul dan menatap bangunan yang di depannya, Piaza Hotel.
                Pekerjaan apa yang bisa dilakukan di hotel? batin Zivanna. “Tunggu dulu.” Gadis itu berkata pada diri sendiri. “Oh Tuhan!” pekik Zivanna kaget. Sebuah pekerjaan muncul di otaknya. Tante Rena memang sinting! Pantas saja Zivanna disuruh dandan ke salon dulu. Dalam seketika, Zivanna berbalik dan berlari menjauh. Namun terlambat, Rena mendengar pekikan Zivanna dan mengejar Zivanna. Dalam sekejap pun, Zivanna sudah tertangkap oleh Rena.
                “Jangan coba-coba kabur!” sentak Rena lalu mencengkram tangan Zivanna sehingga gadis itu tidak bisa berkutik.
                “Tante gila ya! Pekerjaan apapun gapapa, tapi jangan pekerjaan ini! Aku ini cewek baik-baik!” Zivanna meronta dari cengkraman Rena.
                Rena terdiam seketika, seperti mengerti pikiran Zivanna. Dalam seketika, Rena meledak dalam tawa. Zivanna pun melirik kearah Rena dengan sinis.
                “Gamungkin aku kasih kamu pekerjaan macam itu!” Rena tertawa kembali. “Sudahlah, ikut saja.”
                Diam-diam Zivanna menghela napas lega. Ternyata Rena tidak segila itu. Zivanna mengikuti Rena kedalam lift sambil terus berpikir akan pekerjaan yang akan didapatnya. Lift pun berhenti di lantai 3 dan Rena menyeret Zivanna keluar dari lift.
                “Inget, panggil aku mama, jangan tante.” Rena memperingatkan Zivanna lagi. Zivanna hanya bisa melengos.  Rena dan Zivanna berhenti di depan kamar bernomor 308. Rena kemudian mengetuk pintu tersebut. Tak lama kemudian, seseorang keluar dari dalam kamar.
                “Oh, Rena! Long time no see!” ujar seorang laki-laki separuh baya yang barusan keluar dari kamar dan memeluk Rena.
                “It’s nice to see you again, Dan.” ucap Rena manis.
                Zivanna hanya bisa menonton adegan di depannya dengan malas.
                “And who’s this pretty girl?” tanya laki-laki tersebut.
                “It’s Zivanna, I’ve told you, right?” balas Rena sebelum Zivanna sempat menjawab.
                Laki-laki itu pendek. Mungkin tingginya hanya mentok 160cm atau bahkan kurang. Terdapat kacamata bulat yang bertengger di hidungnya. Rambutnya pun jabrik-jabrik seperti diberi gel. Zivanna pun tak bisa menahan tawanya. Laki-laki ini mirip minion! Itu loh, minion yang ada di film Despicable Me.
                Rena dan Minion sekarang melihat ke arah Zivanna dengan pandangan heran. Zivanna pura-pura batuk dan berkata, “Sorry.”
                “It’s okay.” kata Minion. “By the way, you can call me Danny.”
______________________________________________________________________________

                “Jace!” Danny memanggil dengan suara cempring. Jace menoleh ke arah Danny dan melihat lelaki itu berlari kearahnya dengan tergopoh-gopoh.
                “She’s here.” kata Danny.
                Jace mengarahkan bola matanya keatas, seakan berpikir seketika. “Who’s that she?”
                “Lupa? Aku kan udah bilang bakal nyariin kamu tourguide.”
                “No no nooooo.. Aku sekarang mau ke BNS. Tempat mainan yang katanya bagus itu. Aku gada waktu ketemu tourguide itu. Suruh pulang aja, besok suruh kesini lagi.” oceh Jace panjang kali lebar kali tinggi.
                “Yes yes yessss.. Mumpung mau ke BNS, kamu bakal ditemenin tourguide barumu.” Danny menatapku serius. Pandangannya pun beralih kearah pintu menuju ruang tamu. Disana berdirilah seorang ibu-ibu seumuran dengan Danny dan ibu tersebut tersenyum kearah Jace.
                “No way.” ucap Jace tak percaya. Tourguide Jace adalah ibu-ibu!? Jace pun melotot ke arah Danny. Seketika, Danny pun melebur dalam tawa.
                “Bukan, Jace. Bukan. Dia itu teman masa SMAku, dia punya perusahaan tourism besar.” Danny tertawa kembali. “Just wait and see.”
                Diam-diam Jace pun menghela napas lega. Ibu-ibu itu bukanlah tourguidenya. Hampir saja Jace berpikir akan pergi kemanapun dengan di intilin seorang ibu-ibu. Tapi kalau ibu itu bukan tourguidenya, lalu ibu itu siapa? Pacar Danny?
                Danny menyeret lengan Jace sehingga bangkit dari tempat tidur lalu menggiringnya keluar dari kamar menuju ruang tamu. Yep, kamar hotel yang ditempati Jace dan Danny ini memang besar. Ada kamar dan ruang tamunya. Awalnya Jace protes, tapi kemudian pasrah mengikuti Danny.
                “No fudgin’ way.” seru Jace.
                Jace mengucek-ngucek matanya tak percaya. Di depannya, terdapat seorang perempuan dan sedang duduk membelakanginya di sebuah kursi. Tapi yang membuat Jace kaget bukanlah itu. Yang membuat Jace kaget adalah rambut gadis tersebut yang menjuntai sepanjang kursi dan hampir menyentuh lantai.
                Cuma 1 orang yang Jace tau memiliki rambut sepanjang itu.
                Ibu-ibu yang tadi pun mencolek bahu gadis itu, membisikan sepatah kata pada telinganya. Gadis itu lalu berdiri, berbalik, dan menatap Jace. Manik matanya bertemu mata Jace.
                Gadis itu kaget, seketika. Mulut gadis itu bahkan sempat terbuka sementara saat melihat Jace. Namun di detik berikutnya, gadis itu bersikap normal seakan tak terjadi apa-apa.
                Danny menggiring gadis tersebut tepat didepan Jace. “Ayo kenalan.” goda Danny.
                Jace mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Beberapa detik berlalu, akhirnya tangan gadis tersebut bertaut dengan tangan Jace.
                “Aku Jace.” ujar Jace.
                Beberapa waktu berlalu, gadis itu masih tidak memberitahukan namanya.
                “Hmm.. Namanya Zivanna.” sahut ibu yang sedaritadi berdiri disamping gadis ini.
                “Jangan.. Orang-orang biasa panggil aku Zee-Zee.” Gadis itu tiba-tiba bersuara.
                Jace membeku di tempat. Masih tetap tidak menyangka akan bertemu sang Rapunzel kembali.  Suddenly, Jace sangat bersyukur karena kemarin nyasar. This tourguide idea is not that bad after all, batin Jace. Namun Jace seketika tersenyum. Menemukan sebuah ketidaksengajaan yang tiba-tiba muncul di otaknya.
                RapunZee? Batin Jace.

To be continued..

Chapter 2 selesaiiiii.. 
Dan kalau soal chapter 3, aku masih gatau mau lanjutin kapan.
The problem is, aku bakal liburan ke Bali selama seminggu, so I don't know when I will continue this story.
Tapi pasti dilanjutin kok..
Enjoy chapter 2! xoxo

JElim

Friday, December 20, 2013

RapunZee (Chapter 1) - The Comeback

                Jace memasuki sebuah toko buku yang ia tak sengaja temui saat hendak menempuh perjalanan kembali ke hotel. Laki-laki itu membetulkan letak kacamata hitamnya yang sedikit melorot dan berjalan lurus kearah tumpukan novel-novel best seller.
                Jace selalu suka toko buku. Selain suasananya yang sepi, tidak banyak orang, juga tidak banyak orang yang peduli karena setiap orang sibuk dengan pikiran masing-masing. Seperti yang saat ini Jace lihat. Di tumpukan buku best seller pun hanya terdapat 2 orang yaitu seorang gadis remaja dan seorang bocah SD yang entah mengapa masih memakai seragam sekolah di jam selarut ini. Juga tak terlihat orang tua yang menjaganya di mana-mana.
                Jace melihat-lihat seluruh buku yang terpajang disana dibalik kacamata hitam yang sedang dipakainya. Sebentar-sebentar mengambil acak sebuah buku, membaca sekilas sinopsisnya, dan meletakannya kembali di tempat semula. Saat dirinya ingin berpindah ke bagian lain, matanya menangkap gadis remaja yang sejak tadi masih saja berada di bagian buku best seller, sedangkan bocah SD tadi sudah menghilang entah kemana. Penasaran, Jace pun mengintip sedikit judul buku yang membuat gadis itu betah daritadi untuk membaca.
                “Play Drum Freely”, Jace menggumamkan judul buku itu tanpa suara dan merasa menjadi semakin heran.  Jace dengan lancangnya memperhatikan gadis itu. Perawakan gadis itu yang tidak tinggi dan rambutnya yang panjangnya mengalahkan tembok China terurai dengan bebas, sangat kalem. Sangat tidak mungkin bisa main drum.  Rambut gadis tersebut benar-benar abnormal, panjangnya hampir menyentuh paha. Mengingatkan Jace akan tokoh Rapunzel. Wait, Rapunzel, it’s gonna be her new nickname, batin Jace.
                Jace tersentak ditempat, kacamata hitamnya jatuh saking kagetnya. Ternyata gadis itu sadar sedang diperhatikan dan sekarang sedang memelototinya dengan ganas. Si Rapunzel  yang sekarang menatapnya dengan kaget, sekilas. Di detik berikutnya melanjutkan membaca buku lagi.
                Jace pun tau kenapa gadis ini sempat kaget. Karena kacamata hitamnya jatuh dan gadis itu menyadari bahwa kedua bola mata Jace tidaklah berwarna hitam, melainkan biru. Jace berinisiatif untuk meminta maaf karena telah lancang memperhatikan gadis itu. Ia mulai berdiri di belakang gadis itu, menatap punggung gadis itu yang sedang diselimuti jaket biru tua bertuliskan “Rhona Melody”  dan menjulurkan tangan hendak menepuk pundaknya. Dan seketika itu, gadis itu berbalik badan. Menyebabkan keduanya saling bertabrakan dan tangan Jace yang tadinya akan digunakan untuk menepuk pundaknya, malah digunakan gadis itu sebagai penyangga agar tidak terjatuh. Dan seketika.....
                Cekrek! Cekrek! Cekrek.. Cekrek!
                Keduanya pun menoleh kearah datangnya suara dan menemukan seorang laki-laki separuh baya sedang berlari keluar dengan menenteng SLR di lehernya. Jace menghembuskan napas dengan gemas. Not again.....
                Gadis rambut tembok China kembali menatap Jace, kali ini dengan heran bercampur emosi. “Apa-apaan inii?”
                “Hey, sorry about that.. umm.. itu” Jace memejamkan matanya dan melanjutkan, “That doesn’t normally happen and I’m.. hey... hey!”
                Si Rapunzel mengibaskan tangannya, mengabaikan Jace, berjalan cepat kearah pintu dan menghilang. Yang terakhir terlihat hanyalah rambut panjangnya yang tak sengaja terkibas saat keluar dari pintu.
                Jace menghela napas. Seseorang sudah mengetahui keberadaannya di Batu, Indonesia. Juga yang lebih ditakutkan Jace, kalau fotonya barusan dengan gadis itu benar-benar tersebar di media..
                Jace tiba-tiba mendapat inisiatif, laki-laki itu berlari keluar secepat angin. Kedua mata Jace menyapu bersih kedua sisi jalan. Matanya menangkap sesosok bayangan kecil, laki-laki itu berlari kencang kearah bayangan tersebut.
                Hampir sampai kearah orang yang ingin dia tuju, ternyata orang tersebut menyadari keberadaan Jace dan mulai berlari menjauhi Jace. Namun dewi fortuna sedang berada dipihak Jace, kaki Jace yang panjang menyebabkan Jace dengan mudahnya menggapai ujung jaket orang tersebut dan menariknya.
                “Siniin kameranya.” kata Jace setelah berhasil mencengkram hem kemeja orang tersebut. Pada bagian kiri atas kemejanya, terdapat label sebuah TV yang disimpulkan Jace sebagai tempat orang ini bekernya, “Supreme TV”.
                Laki-laki paruh baya itu dengan takut menyerahkan kameranya SLRnya pada Jace. “Tolong jangan rusak kameranya..” pintanya.
                Jace menggunakan tangan kanannya untuk mendelete foto-foto Jace dengan Rapunzel saat di toko buku tadi. Setelah memastikan tidak ada foto yang tersisa, Jace menyerahkan kamera SLR itu kembali pada sang wartawan, melepaskan cengkramannya pada hem wartawan tersebut dan berbalik pergi. Menjauh, dan tidak menoleh lagi ke belakang.

_________________________________________________________________________

                Jace melangkahkan kaki dengan malas keluar dari kamar hotelnya, meninggalkan managernya, Danny yang masih terlelap di alam mimpi.
                Perutnya berbunyi menandakan dirinya yang benar-benar lapar. Jace kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan keluar sendiri tanpa managernya. Masih teringat jelas di kepala Jace ketika kemarin Danny sedang memainkan game di laptop sambil menasihatinya, “Jangan pergi kemanapun tanpaku, ya. Ntar kamu tersesat, berabe lho.”.
                Jace hanya tersenyum tipis. Daripada mati kelaparan, mendingan keluar sendiri beli makanan. Lagipula, Jace sedang ngidam rawon. Setelah hampir 5 tahun tidak kembali ke Indonesia, lidahnya sudah hampir lupa semua rasa makanan di Indonesia. Dirinya pun sudah membuat semacam list makanan yang akan dimakannya saat di Indonesia. Jace merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah kertas lusuh. Dia membaca kertas itu pelan “Rawon, tahu tek, gulai kambing,..”
                “Selamat pagi, Pak.”
                “Wuo!” Jace terperangah oleh sapaan mendadak itu dan mundur beberapa langkah ke belakang. Didapatinya seorang karyawan hotel yang kebetulan lewat sedang menyapanya.
                “Selamat pagi.” balas Jace dengan senyuman canggung dan langsung keluar dari hotel. Lelaki itu menjejalkan kertas lusuh itu kembali kedalam kantongnya jaketnya.  Jace langsung mencari salah satu taxi dari antrian taxi yang menunggu penumpang di luar hotel. Dari antara sekian banyak taxi, ada 1 taxi yang menarik perhatian Jace karena terdapat stiker mickey mouse kecil yang tertempel di jendela belakang. Jace langsung menumpangi taxi tersebut.
                “Mau kemana , Mas?” tanya sang supir taxi.
                “Where’s the most-I mean-sorry, Rawon yang terenak di Malang dimana ya?” ralat Jace. Jace harus lebih terbiasa lagi menggunakan bahasa Indonesia.  Laki-laki itu memijat dahinya dan terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia sedang berada di Batu bukan Amrik.
                “Ohh.. ada, Mas. Rawon di Depot Bu Santi itu enak banget. Saya aja  bisa seminggu makan 4x disana.” oceh sang supir taxi.
                “Boleh deh, Pak. Tolong anterin saya kesana.”
                 “Siap Mas!”
                Tak sampai 15 menit berlalu, taxi tersebut telah sampai ke tempat tujuan. Perjalanan pun sangat terasa cepat karena sepanjang perjalanan, si supir taxi mengoceh dengan nonstop dan menanyai Jace berbagai macam pertanyaan. Jace pun membalas menjawab dengan senang. It’s nice to have this kind of situation. It’s like, we don’t know each other, even each other’s name, but who cares, we just talk for the sake of wasting time.
                “Ayo, Pak. Udah sampe nih.” kata sang pak supir seraya tak sengaja memamerkan gigi bagian kirinya yang ompong .
                “Ohya, thankyou Pak.” ucap Jace dan menyerahkan selembar 50 ribuan pada si supir ompong. “Ambil aja kembaliannya.” tambah Jace saat melihat sang supir sibuk mengeluarkan dompetnya.
                “Makasih, Mas.” Pak supir terlihat sangat senang. “Mau ditungguin makannya atau gimana?”
                “Oh gausah, Pak. Jalan aja, saya habis gini mau jalan kaki lihat-lihat.” Jace mengungkapkan ide mendadaknya pada sang supir.
                “Siap Mas, selamat menikmati kota batuu..” seru si supir ompong.  Jace hanya mengangguk pelan dan keluar dari taxi, lalu memperhatikan taxi tersebut beranjak pergi dari pandangannya. Jace berbalik dan berjalan masuk ketika menatap palang Depot Bu Santi di depannya.
                “Mau pesen apa, Mas?”  tanya Ibu-ibu disana.
                “Rawon sama air mineral, Bu.” ucapku menyebabkan Ibu tersebut mengangguk dan masuk kedalam mempersiapkan makanan. Hanya menunggu beberapa menit saja, makanan tersebut langsung datang.
                And hell, this really is the best Rawon in the whole planet, batin Jace. Jace sampai ingin memberi tips tambahan pada sang supir ompong karena telah memberitahukannya tempat ini, tapi Jace baru ingat bahwa taxinya sudah pergi. Tak sampai 5 menit, rawon tersebut sudah ludes, masuk total kedalam perut Jace. Jace sampai minta Ibu penjual untuk membungkus rawon lagi untuk dibawanya ke hotel.
                Setelah puas makan, Jace berjalan-jalan keliling kota Batu. Laki-laki itu memasuki hampir semua toko yang dilihatnya. Dari toko baju sampai supermarket. Laki-laki tersebut menyadari bahwa hari sudah siang. Terik matahari menyinari langsung dan menyengat pada kulit Jace. Laki-laki itu ingin balik ke hotel. Ingin istirahat.
                Dilihatnya ke sekeliling, mencari taxi untuk pulang ke hotel. Tapi tidak ada satu taxi pun yang tertangkap matanya. Kendaraan umum pun tidak ada yang terlihat. Jace mulai panik, menyesal menyuruh supir ompong tadi pergi.  Sekarang Jace nyasar.
                Jace merogoh kantongnya dan mengeluarkan Hpnya, berniat menelepon meminta jemputan. Mata Jace melotot melihat layar Hpnya.
                “I’m dead. Really really dead.” oceh Jace sambil terus memandangi Hpnya. 47 misscall dan 17 SMS. Semuanya dari Danny.

_______________________________________________________________________

                “The heck, Jace?!” seru Danny saat pertama kali melihat Jace.
                Danny lalu mengoceh dan terus mengoceh dari Sabang hingga Merauke. Menasihati Jace karena pergi tanpa mengabarinya dan men-silent Hpnya. Tapi Jace terpaksa untuk menelepon Danny dan menjemputnya. Gimana lagi? Jace baru datang di Batu dan tidak mengetahui nomor telepon taxi.
                Untungnya Jace menyogok Danny dengan berbagai macam belanjaannya, serta memberinya rawon Depot Bu Santi. Awalnya Danny menolak, namun akhirnya luluh juga dan malah sibuk mengorek-ngorek belanjaan Jace.
                “Udah ga marah nih, pak Manager?” goda Jace saat Danny sibuk makan rawon.
                Danny melengos. Laki-laki bertubuh pendek itu membetulkan letak kacamata bulatnya dan menatap Jace.
                “Maybe I’m not mad anymore, but I’m gonna find you a new tourguide.”

To be continued

TADAAAA! FIRST CHAPTER FINALLY CAMEE
Well, fyi, I'm a fairytale freak. So, I came up with an idea to write a story that have a thing with fairytale. And because Rapunzel is my favorite, so I decide to write a story about Rapunzel.
So here it is! I don't know when I will write the second chapter, just wait :p
Thankyou for readinggggg!

JElim