Tuesday, January 10, 2017

Pengalaman Acara Live In

Okay, this post is another excuse for me to slack off instead of doing my tasks.

                Kali ini, aku ingin curcol tentang pengalaman Live In-ku selama seminggu di desa Pait Lor, Malang. Yang awalnya kukira bakal jadi pengalaman terburukku sepanjang masa since hanya boleh bawa 4 baju dan 4 celana untuk seminggu, (itupun celanaku disita 1 biji karena melanggar peraturan, njir), lalu di sana tidak ada signal sekali. Like literally, signalnya zonk total. Jangankan untuk internetan, untuk kirim sms pun susah!

                Aku ingat sempat muter-muter di jalan, naik kursi, naik ranjang, hanya demi mencari segaris signal untuk telepon orang tua. Padahal awalnya, kupikir kegiatan cari signal yang seperti itu sangat berlebihan dan hanya bisa ditemui di sinetron.

                Tujuan utamaku ikut Live In pun tidak terpenuhi. Awalnya, aku ingin ikut Live In supaya menjauh dari drama kehidupan. Ternyata, kehidupan desa lebih peeeeeeenuh drama! Kalo Ibu Mawar dan Ibu Melati ketemu, mereka ngomongin Ibu Kamboja. Kalo Ibu Melati dan Ibu Kamboja ketemu, mereka ngomongin Ibu Mawar. Begitu terus sampai mampus. Kalau kata orang muka dua, Ibu-ibu di desa ini mukanya ada 5. Aku pun sempat jadi obrolan orang sekampung karena mukaku yang sinis dan selalu keliatan nantang ini. Like, plis, dari lahir juga mukaku begini???

                Kenyataannya, Live In jadi pengalaman yang I’m sure that I will remember at least for a long long time ahead, karena:

1.    Aku hoki. Buanget. Serumah dihuni oleh 2 mahasiswa. Kebetulan, teman sekamarku itu cuocok to the max denganku (sama-sama hobi tidur siang, sama-sama jarang mandi, sama-sama tidur subuh, sama-sama sering makan), pokoknya cucok lah! (hai, Diah! Kalo kamu baca ini, I miss you so much really!)

2.    Pemilik dari rumah yang aku tinggali adalah Ibunya Pak Lurah. Istilahnya, lebih berada dari kebanyakan warga desa lainnya. Jadi aku tetap makan enak dan tidur enak walau di desa. Asek woy. Tapi tetep bantu-bantu Ibunya untuk metik tomat di sawah dan jemur padi, kok.

3.    Karena nggak ada signal at all di desa, hiburanku satu-satunya hanyalah main bersama teman-teman.
Literally, the best time saat Live In adalah saat malam hari ini. Dimana kita diam-diam berkumpul di satu rumah untuk curcol bahas soal politik, gosip, horror, sampe main werewolf, capsa, apapun hingga jam 12 subuh.
Sampai hari terakhir acara Live In pun, hal yang paling susah untuk dilakukan adalah berpisah dengan teman-teman senasib ini.

Kangen kalian semua loh. Kangen our endless nights diam-diam main kartu sampai mampus. Kangen obrolan geje dan guyonan receh.

Kangen Wuwu yang kalo main ceblek nyamuk selalu kalah.
Titus yang koleksi cincin akiknya sampai 400 biji dan hobinya sepik-in SEMUA cewek.
Mbak Della yang selalu diintipin Titus waktu mandi.
Diah yang jerawatnya dikira orang-orang mirip tindikan.
Steven yang diem banget sampe dikira warga desa penyakitan.
Nella yang kalo makan dari matahari terbit sampai terbenam juga belom selesai-selesai.
Vania yang harmonis sekali dengan Ibu angkatnya.
Nggak kangen Ghea sama Stef sih, soalnya tiap hari tetep ketemu di kampus juga(?)


But anyway, let’s keep in touch, okay?
I know that we can’t always meet up, but a mere group chat will suffice, right?
So, please, please, tetep rame-rame selalu di group. Titus jangan pernah berhenti sepikin semua cewe. Cewe-cewenya juga ayo sepikin Titus balik. Steven tolong hiduplah di group. Bersyukur banget ikut Live In karena somehow and by chance bisa ketemu makhluk-makhluk ajaib kayak kalian semua. Pokoknya love you guys!


Heck, I even dedicated a post in my blog just for you.

No comments:

Post a Comment