Okay, this post is another excuse for me to slack off
instead of doing my tasks.
Kali
ini, aku ingin curcol tentang pengalaman Live In-ku selama seminggu di desa
Pait Lor, Malang. Yang awalnya kukira bakal jadi pengalaman terburukku sepanjang
masa since hanya boleh bawa 4 baju dan 4 celana untuk seminggu, (itupun
celanaku disita 1 biji karena melanggar peraturan, njir), lalu di sana tidak
ada signal sekali. Like literally, signalnya zonk total. Jangankan untuk
internetan, untuk kirim sms pun susah!
Aku
ingat sempat muter-muter di jalan, naik kursi, naik ranjang, hanya demi mencari
segaris signal untuk telepon orang tua. Padahal awalnya, kupikir kegiatan cari
signal yang seperti itu sangat berlebihan dan hanya bisa ditemui di sinetron.
Tujuan utamaku ikut Live In pun tidak terpenuhi. Awalnya, aku ingin ikut Live In supaya menjauh dari drama kehidupan. Ternyata, kehidupan desa lebih peeeeeeenuh drama! Kalo Ibu Mawar dan Ibu Melati
ketemu, mereka ngomongin Ibu Kamboja. Kalo Ibu Melati dan Ibu Kamboja ketemu,
mereka ngomongin Ibu Mawar. Begitu terus sampai mampus. Kalau kata orang muka dua, Ibu-ibu di desa ini mukanya ada 5. Aku pun sempat jadi obrolan
orang sekampung karena mukaku yang sinis dan selalu keliatan nantang ini. Like,
plis, dari lahir juga mukaku begini???
Kenyataannya,
Live In jadi pengalaman yang I’m sure that I will remember at least for a long
long time ahead, karena:
1. Aku hoki. Buanget. Serumah dihuni oleh 2
mahasiswa. Kebetulan, teman sekamarku itu cuocok to the max denganku (sama-sama
hobi tidur siang, sama-sama jarang mandi, sama-sama tidur subuh, sama-sama
sering makan), pokoknya cucok lah! (hai, Diah! Kalo kamu baca ini, I miss you
so much really!)
2. Pemilik dari rumah yang aku tinggali adalah
Ibunya Pak Lurah. Istilahnya, lebih berada dari kebanyakan warga desa lainnya.
Jadi aku tetap makan enak dan tidur enak walau di desa. Asek woy. Tapi tetep bantu-bantu Ibunya untuk metik tomat di sawah dan jemur padi, kok.
3. Karena nggak ada signal at all di desa,
hiburanku satu-satunya hanyalah main bersama teman-teman.
Literally, the best time saat Live In
adalah saat malam hari ini. Dimana kita diam-diam berkumpul di satu rumah untuk
curcol bahas soal politik, gosip, horror, sampe main werewolf, capsa, apapun
hingga jam 12 subuh.
Sampai hari terakhir acara Live In pun, hal
yang paling susah untuk dilakukan adalah berpisah dengan teman-teman senasib ini.
Kangen kalian semua loh. Kangen
our endless nights diam-diam main kartu sampai mampus. Kangen obrolan geje dan
guyonan receh.
Kangen Wuwu yang kalo main ceblek
nyamuk selalu kalah.
Titus yang koleksi cincin akiknya
sampai 400 biji dan hobinya sepik-in SEMUA cewek.
Mbak Della yang selalu diintipin
Titus waktu mandi.
Diah yang jerawatnya dikira
orang-orang mirip tindikan.
Steven yang diem banget sampe
dikira warga desa penyakitan.
Nella yang kalo makan dari
matahari terbit sampai terbenam juga belom selesai-selesai.
Vania yang harmonis sekali dengan
Ibu angkatnya.
Nggak kangen Ghea sama Stef sih,
soalnya tiap hari tetep ketemu di kampus juga(?)
But anyway, let’s keep in touch,
okay?
I know that we can’t always meet
up, but a mere group chat will suffice, right?
So, please, please, tetep
rame-rame selalu di group. Titus jangan pernah berhenti sepikin semua cewe.
Cewe-cewenya juga ayo sepikin Titus balik. Steven tolong hiduplah di group. Bersyukur
banget ikut Live In karena somehow and by chance bisa ketemu makhluk-makhluk ajaib kayak kalian semua. Pokoknya love
you guys!
Heck, I even dedicated a post in
my blog just for you.
No comments:
Post a Comment